KEHEBATAN DARI SANG PENAKLUK SYAM
Abu Ubaidah bin Al Jarrah ra
Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.
Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.
Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,
“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).
Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)
Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.
Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,
‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“
Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Umar bertanya kepada Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu"wahai saudaraku boleh kah aku pergi ke rumah mu" ia menjawab, “Wahai Amirul mengapa engkau datang hanya untuk menangis"Umar terus memaksa dan akhirnya abu ubaidah mengizinkannya.Setelah saat beliau pergi ke rumah abu ubaidah Umar "Inikah rumahmu,kenapa tidak ada perabotan sedikitpun kecuali pedang,perisai,unta,dimana penghidupan mu? Lalu abu ubaidah ra pergi ke sebuah pembakaran kecil,lalu mengais sesuatu dari arang.Kemudian Umar bin khattab menangis.Abu ubaidah ra"Mengapa engkau datang kesini hanya untuk menangis wahai amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”
Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Memang dunia ini penuh dengan harta harta tapi tidak bisa dipungkiri bahwa akhirat lah yang paling utama,didunia berumpamakan kita singgah di suatu pelabuhan ada orang yang lama ada yang sedikut,ada yang membawa bekal dan adapun yang tidak mereka berjalan sesuai dengan perjalanan masing masing,nah saat kita dipelabuahn itu berumpamakan bumi kita mencari bekal dan mencari kapal untuk pergi ke kampung halaman kita.Dan ingat mereka yang di hidup nya tidak melakukan kebaikan apapun seperti orang yang melakukan perjalanan dilaut tanpa kapal.Lalu bagaimanakah akhirat itu,apakah kita pasti masuk surga,kenapa Allah swt memberi tanggungan kepada manusia,kenapa gunung,bumi,langit yang selalu tunduk kepada Allah swt tidak mau diberi tanggungan kenapa manusia yang berjalan sesuai hawa nafsu dan ada yang tidak,kenapa............... wallahualam
Coba liat peta wilayah Damaskus,sangat strategis bagi perdagangan.
Komentar
Posting Komentar