Teori Realitas Subyektif dan Realitas Obyektif Peter L Berger

Afif Hidayatulloh

Teori Sosiologi Modern Kelas A

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Teori Realitas Subyektif dan Realitas Obyektif Peter L Berger

Peter Ludwig Berger lahir pada tanggal 17 maret 1929 di Vienna, Austria. Ia kuliah di Wagner College dan mendapatkan gelarnya kemudian melanjutkan studinya ke New School for Social Research di New York dan mendapatkan gelar M.A pada 1950 dan Ph.D pada 1952. Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universitas Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi. Berger banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari Max Weber dan Alfred Schutz. Berger meninggal pada 27 Juni 2017 di Massachusetts di umur ke 88 tahun.

Saya membaca teorinya Berger di dalam karyanya yang berjudul “The Social Construction of Reality” dan di dalam jurnal yang berjudul “Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L.Berger”. Di dalam karyanya Berger menjelaskan bahwa realitas subyektifitas dipahami di dalam kesadaran individu sedangkan realitas obyektif didefinisikan secara kelembagaan (Berger, 1966:167). Masyarakat sebagai relitas obyektif menyiratkan pelembagaan di dalamnya. Proses pelembagaan yang diulang-ulang akan mengalami pembiasan sehingga akan memunculkan pengendapan dan tradisi (Sulaiman, 2016:5). Dasar dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari diperoleh melalui obyektivasi dari makna-makna subyektif yang membentuk dunia akal sehat intersubyektif (Berger, 1966:29).

Di dalam kehidupan sehari-hari kita akan melalui kehidupan mengenai aktivitas-aktivitas kita dan aktivitas tersebut dilakukan secara berulang-ulang. Kehidupan yang setiap orang jalani mengandung kenyataan yang dipahami oleh setiap individu yang pastinya berbeda-beda penafsirannya. Sehingga hal tersebut dinamakan sebagai subyektifitas individu. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang disebut pengetahuan individu yang saling berbeda beda dan ketika para individu-individu tersebut saling berinteraksi di dalam dunia sosial (interaksi) maka akan berlangsung intersubyektif bersama. Di mana para individu yang merupakan aktor akan saling menyalurkan pengetahuan individu masing-masingnya. Pada akhirnya para aktor individu yang saling menyalurkan pengetahuannya akan membentuk realitas obyektif. Realitas obyektif tersebut akan menghasilkan sebuah masyarakat yang memiliki tatanan sosial dengan bahasa sebagai mediannya. Selain itu menghasilkan sebuah legitimisasi, di mana subyektifitas individu tidak perlu menanyakannya lagi.

Apabila kita terapkan teori tersebut di dalam kehidupan masa kini maka teori tersebut akan semakin cocok. Kita akan mengambil salah satu contoh di Jawa yaitu tradisi nikahan (temanten), sejak Islam masuk ke Jawa maka perubahan makna dan nilai-nilai dalam sebuah kehidupan mulai berubah namun kegiatannya tidak berubah. Kata temanten(nikahan) setip orang Jawa sudah tahu apa maksudnya, bahkan anak kecil yang berusia 3-4 tahunan pun sudah tahu. Karena itu tradisi fenomenal tersebut selalu tergambar nyata, bahkan orang Jawa sendiri menyimpan pengalaman temanten (nikahan) sebagai pengetahuan dan realitas sosial mereka. Di dalam pandangan Islam sendiri yang dibawa oleh para walisongo ke Jawa bahwa nikah termasuk ke dalam ibadah berusaha untuk melegitimisasi temanten tersebut. Melalui 2 komponen yaitu Islam dan Jawa menjadikan tradisi temanten menjadi realitas sosial yang tak terbantahkan. Tradisi temanten terus berlangsung hingga sekarang dan diinterpretasikan oleh individu Jawa maupun luar Jawa sehingga menjadi realitas subyektif. Sehingga sekarang tradisi tersebut semakin berkembng dengan mulai berpengaruhnya modernisasi. Misalnya digunakannya kamera perekaman, ditambahkannya alat musik modern bersama gamelan, perayaan resepsi modern di out door dan lain sebagainya. Selain itu tradisi temanten (nikahan) adalah kenyataan obyektif yang tak terbantahkan karena sudah menjadi keharusan orang Jawa untuk menikah. Namun kenyataan tradisi tersebut bisa menjadi nyata pada individu dan juga bisa menjadi tidak nyata bagi salah satu individu. Karena tradisi temanten memiliki beragam makna maka tiap-tiap individu memiliki pandangan tersendiri, entah itu sudah kuno, tidak sesuai syariat Islam karena pemborosan ataupun yang lainnya. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang beragam akan melahirkan sebuah tradisi temanten yang setiap waktu mengalami perubahan.


Sumber :

Berger, Peter L dan Luckmann, T. 1966. The Social of Construction of Reality. London:  Penguin Books.

Sulaiman, Aimie.2016. Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L.Berger. Jurnal Society. Volume VI, Nomor 1.

Harold, Rudy. 2016. Agama dan Pembentukan Realitas dalam Pandangan Peter L Berger. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Vol 1 No 10.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Emile Durkheim

Kim Yushin komandan Pasukan Hwarang Penyatu Semenanjung Korea

Kemenangan Islam Terhadap Mongol Pada Perang Ain Jalut